Minggu, 22 Juni 2025

Tanah Eks-HGU di Sumatera Utara: Dosen UMSU Soroti Ancaman Reproduksi Ketidakadilan Agraria

Administrator
Minggu, 11 Mei 2025 20:10 WIB
Tanah Eks-HGU di Sumatera Utara: Dosen UMSU Soroti Ancaman Reproduksi Ketidakadilan Agraria
Istimewa


Medan— Polemik status ribuan hektare tanah eks-HGU (Hak Guna Usaha) di Sumatera Utara kembali mencuat setelah Kementerian ATR/BPN pada tahun 2023 menetapkan sebagian dari lahan tersebut sebagai "tanah negara bebas". Namun, menurut Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU dan Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya ('nBASIS), keputusan ini bukan tanpa risiko besar terhadap keadilan agraria dan potensi reproduksi ketimpangan struktural di wilayah tersebut.

Jejak Kolonial dan Trauma Struktural

Dalam keterangannya, Shohibul mengungkap bahwa sistem HGU di Sumatera Timur merupakan warisan kolonial yang sangat problematik. "Kemitraan antara kesultanan Melayu—seperti Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan—dengan pemerintah kolonial Belanda dalam alokasi lahan perkebunan telah melahirkan ketimpangan penguasaan tanah yang akut, sekaligus eksploitasi tenaga kerja yang brutal," ujarnya.

Revolusi Sosial 1946 yang mengguncang Sumatera Timur, menurutnya, tidak serta merta menghasilkan keadilan agraria. Sebaliknya, negara menggantikan struktur tradisional dengan pola kekuasaan sentralistik melalui BUMN seperti PTPN tanpa proses redistribusi tanah yang adil. "Alih-alih membawa keadilan, ini justru memperpanjang marginalisasi masyarakat lokal," katanya.

"Tanah Negara Bebas": Bebas dari Siapa, untuk Siapa?

Shohibul mempertanyakan retorika "tanah negara bebas". "Apakah ini benar-benar membebaskan masyarakat dari belenggu ketidakadilan agraria, atau hanya memindahkan aset dari satu elite ke elite lainnya?" tanyanya kritis. Ia menekankan pentingnya mekanisme alokasi yang transparan dan partisipatif agar tidak menciptakan ketimpangan baru.

Oligarki, Premanisme, dan Pertarungan Aset

Lebih jauh, Shohibul menyoroti potensi pertarungan politik dan ekonomi atas tanah eks-HGU tersebut. Ia menyebut bahwa dalam konteks pasca-revolusi, aktor-aktor informal seperti preman dan kelompok bersenjata kerap digunakan oleh elite politik untuk mengamankan kepentingannya. "Relasi patron-klien antara elite dengan kelompok preman menjadi instrumen efektif dalam penggusuran, intimidasi, hingga penguasaan aset secara ilegal," jelasnya.

Shohibul juga membandingkan kondisi ini dengan Yogyakarta yang memperoleh keistimewaan dan kontrol formal atas tanah melalui kerangka hukum. "Sementara Sumatera Timur justru diputus total dari akar kekuasaan lokalnya. Ini mencerminkan politik pengakuan yang selektif oleh negara," tambahnya.

Ketimpangan Ekonomi dan Ancaman Marginalisasi Baru

Dalam aspek ekonomi, Shohibul melihat bahwa kegagalan redistribusi tanah pasca-1946 telah mendorong masyarakat lokal masuk ke sektor informal, bahkan ke jaringan premanisme. Ia mengingatkan bahwa jika tanah eks-HGU ini tidak dialokasikan secara adil, manfaat ekonomi hanya akan dinikmati oleh elite bermodal besar.

"Tanah ini tidak boleh jadi objek spekulasi kekuasaan. Potensi ekonomi harus dikelola untuk pemberdayaan masyarakat, bukan dikuasai oleh segelintir pihak," tegasnya.

Aspek Sosial Budaya: Trauma Kolektif dan Hilangnya Pelindung Sosial

Shohibul juga menyinggung dimensi sosial budaya. "Revolusi Sosial 1946 menghancurkan struktur kesultanan yang dulu, meski problematis, menjadi simbol perlindungan sosial. Kekosongan itu kini diisi oleh premanisme sebagai bentuk kontrol sosial alternatif," paparnya.

Ia menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki klaim historis atas tanah tersebut. "Tanpa kepekaan terhadap sejarah lokal, konflik sosial baru sangat mungkin muncul," ujarnya.

Koreksi Historis dan Keadilan Agraria

Shohibul menegaskan bahwa akar dari premanisme dan kekuasaan informal di Sumatera Timur adalah ketidakadilan struktural yang diwariskan sejak kolonialisme. Ia menekankan bahwa negara harus melakukan koreksi historis secara serius. "Reformasi agraria harus sungguh-sungguh, bukan sekadar retorika. Kita butuh keadilan yang menjangkau semua warga, bukan hanya elite terpilih," tutupnya.

Shohibul menyarankan agar pemerintah belajar dari kasus Yogyakarta dan rencana keistimewaan untuk Solo. "Pengakuan terhadap warisan sejarah lokal harus adil dan proporsional. Ini penting dalam merancang kebijakan agraria dan tata kelola kekuasaan di Indonesia yang lebih berkeadilan," pungkasnya.

---

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Administrator
Sumber
:
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Masyarakat Tuding Oknum Anggota Dewan Terlibat Mafia Tanah, Desak Penegakan Hukum Tegas

Masyarakat Tuding Oknum Anggota Dewan Terlibat Mafia Tanah, Desak Penegakan Hukum Tegas

Komentar
Berita Terbaru