Medan – Barisan Rakyat Pemerhati Korupsi (BARAPAKSI) melayangkan kritik keras terhadap Pimpinan DPRD Sumatera Utara, terkait alokasi anggaran sebesar Rp6,4 miliar untuk pengadaan mobil dinas baru. Di tengah seruan efisiensi anggaran secara nasional dan kondisi ekonomi masyarakat yang masih tertekan pasca pandemi, kebijakan ini dinilai sebagai bentuk kemewahan yang tak bermoral dan tidak berpihak kepada rakyat.
Direktur Eksekutif BARAPAKSI, Otti Batubara, menegaskan bahwa keputusan tersebut adalah contoh nyata pengabaian terhadap amanat rakyat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Sumatera Utara.
"Ini bukan sekadar pengadaan mobil, ini adalah simbol ketidakpekaan terhadap penderitaan rakyat. Ini pengkhianatan terhadap semangat efisiensi yang justru digaungkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Para pimpinan DPRD seakan lupa diri, bukan ratu, bukan pangeran dan juga bukan bangsawan, tapi wakil rakyat yang digaji dari uang rakyat," tegas Otti dalam konferensi pers di Medan, Selasa (21/5).
BARAPAKSI mempertanyakan urgensi pengadaan kendaraan mewah tersebut. Menurut mereka, mobil dinas lama masih sangat layak digunakan dan belum ada indikasi kerusakan signifikan. Oleh karena itu, pengadaan baru dengan nilai fantastis menjadi pertanyaan besar, ada kepentingan apa di balik proyek ini ?.
"Kami curiga ini lebih dari sekadar kenyamanan. Ini bisa saja menjadi pintu masuk penyalahgunaan anggaran atau permainan proyek. Maka kami minta ini segera diusut oleh APH (aparat penegak hukum). Jangan ada lagi ruang untuk akrobat anggaran," lanjut Otti.
Mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 3, setiap pengeluaran negara wajib dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab.
BARAPAKSI menilai bahwa pengadaan mobil dinas senilai miliaran rupiah untuk satu pejabat adalah bentuk pemborosan yang mencolok dan bertentangan dengan prinsip tata kelola anggaran yang baik.
"Bagaimana mungkin DPRD bicara soal efisiensi, saat Ketua DPRD-nya sendiri malah menjadi contoh paling buruk dari pemborosan. Kami melihat ini sebagai kemunduran moral institusi legislatif," tambahnya.
Otti juga menyinggung sikap para pimpinan DPRD yang menerima fasilitas mewah ini dengan penuh kebanggaan sebagai bukti jauhnya para elit dari realitas hidup rakyat.
"Tidak ada rasa malu, tidak ada empati. Bukannya menolak dengan tegas karena sadar beban rakyat, tapi justru menerima dengan bangga seolah-olah ini penghargaan istimewa. Padahal itu dibayar dari uang rakyat," kata Otti lantang.
BARAPAKSI juga meminta Pemprov Sumut dan DPRD untuk membuka ke publik terkait anggaran pengadaan tersebut. apakah hibah, atau dari APBD masyarakat Sumatera Utara layak mengetahuinya. Setidaknya publik berhak tahu siapa yang mengusulkan, siapa yang menyetujui, dan siapa rekanan pengadaan.
BARAPAKSI juga berencana mengajukan laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Ombudsman Republik Indonesia, agar ada dorongan untuk mengaudit bilamana ada potensi markup, kolusi, atau penyimpangan prosedur.
" Yang jelasnya, ini bukan hanya soal mobil. Ini soal etika kekuasaan. Soal bagaimana wakil rakyat seharusnya hidup dengan kesadaran bahwa setiap rupiah yang mereka belanjakan berasal dari rakyat. Pimpinan DPRD Sumut telah gagal menunjukkan kepemimpinan yang beretika," tutup Otti.Red2