(No One Can Escape History)
Oleh: H Syahrir Nasution
Di tengah arus globalisasi dan gelombang digitalisasi yang makin tak terbendung, kehidupan manusia kini berada dalam pusaran informasi yang nyaris tak terbatas. Media sosial, kecerdasan buatan, dan perangkat digital lainnya telah mengambil alih banyak ruang dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, di balik kemajuan ini, terdapat sisi gelap yang kian mencemaskan—terutama dalam hal kesadaran
sejarah.
Generasi muda saat ini, khususnya generasi Z, tumbuh dalam lingkungan serba instan. Mereka lebih percaya pada apa yang viral di media sosial daripada menggali kebenaran melalui catatan
sejarah yang otentik. Informasi yang mereka terima bukanlah hasil kontemplasi panjang atau studi mendalam, melainkan hasil dari algoritma yang dikendalikan oleh kepentingan bisnis atau bahkan politik.
Salah satu akibat paling fatal dari fenomena ini adalah makin terpinggirkannya
sejarah dalam ruang pendidikan formal maupun dalam kesadaran kolektif masyarakat. Bahkan, dalam beberapa wacana kebijakan pendidikan, pelajaran
sejarah mulai dikesampingkan, dianggap tidak relevan dengan tuntutan zaman. Ini adalah kekeliruan besar. Sebab, bagaimana mungkin kita bisa melangkah ke masa depan tanpa memahami akar masa lalu?
Sejarah bukan hanya kumpulan tanggal dan peristiwa. Sejarah adalah cermin, guru, dan penuntun arah. Para pendiri bangsa ini—Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, hingga
Willem Iskander—bukanlah tokoh yang muncul begitu saja. Mereka ditempa oleh situasi
sejarah yang berat, dijajah ratusan tahun, namun mampu bangkit karena memiliki kesadaran
sejarah yang kuat. Mereka membaca, menganalisis, dan memahami kondisi bangsa, lalu melawan dengan pemikiran, tindakan, dan semangat kebangsaan yang menyala-nyala.
Sebagai contoh,
Willem Iskander adalah sosok yang patut dikenang. Ia bukan hanya pahlawan, tapi juga pendobrak sistem pendidikan kolonial. Dalam buku
Willem Iskander: Pahlawan dan Pendobrak, kita dapat melihat betapa pentingnya peran
sejarah dalam membentuk pemikiran progresif di masa penjajahan. Iskander memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak pribumi, sebuah gagasan radikal pada zamannya, yang lahir dari kesadarannya akan pentingnya membangun bangsa dari pengetahuan dan identitas diri.
Namun kini, nilai-nilai seperti itu mulai terkikis. Generasi muda lebih sibuk dengan konten singkat yang viral daripada membaca
sejarah bangsa mereka sendiri. Akibatnya, banyak yang tidak mengenal tokoh-tokoh perjuangan, tidak paham konteks kemerdekaan, bahkan tidak tahu arti penting dari sumpah pemuda, reformasi, atau perjuangan di masa penjajahan. Ini adalah kehilangan besar yang dapat membuat bangsa ini kehilangan arah.
Jika bangsa ini ingin tetap berdiri teguh di tengah badai globalisasi, maka pendidikan
sejarah harus dikembalikan ke posisi strategis. Sejarah bukan barang lama yang usang. Ia adalah fondasi peradaban. Sejarah adalah peringatan bahwa setiap langkah kita hari ini akan menjadi jejak yang dipelajari generasi berikutnya. Oleh karena itu, melupakan
sejarah sama saja dengan menggali kubur bagi identitas bangsa sendiri.
Mari kita renungkan: mengapa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Jerman begitu menekankan pendidikan
sejarah? Karena mereka tahu, kekuatan bangsa tidak hanya berasal dari teknologi dan ekonomi, tetapi juga dari narasi besar yang membentuk kesadaran kolektif bangsanya.
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan: tidak ada seorang pun yang dapat lari dari
sejarah. Kita semua adalah bagian dari mata rantai panjang peristiwa dan perjuangan. Maka, jangan biarkan
sejarah terkubur dalam sunyi. Bangkitkan kembali kesadaran
sejarah dalam pikiran generasi muda, dan wariskan semangat kebangsaan yang kuat kepada anak cucu kita. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati
sejarahnya.***