Oleh: H Syahrir Nasution
Ketika wacana pembentukan
Koperasi Desa Merah Putih mencuat belakangan ini, ada denyut harapan yang patut disambut. Inisiatif yang digulirkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto ini tak sekadar program ekonomi; ia memanggil kembali memori lama tentang cita-cita besar yang nyaris terkubur: koperasi sebagai jalan kemakmuran
rakyat.
Mohammad Hatta, Proklamator sekaligus Bapak
Koperasi Indonesia, pernah menegaskan bahwa koperasi adalah bentuk paling murni dari ekonomi kekeluargaan. Bukan sekadar badan usaha, melainkan sarana untuk membangun solidaritas dan kemandirian
rakyat kecil. Sayangnya, arus kapitalisme yang deras selama puluhan tahun membuat idealisme itu surut — jika bukan hilang sama sekali.
Kini, ketika rezim Prabowo berikrar membangkitkan kembali Pasal 33 UUD 1945, masyarakat menaruh ekspektasi tinggi. Pasal ini bukan sekadar norma konstitusi; ia adalah panduan arah pembangunan ekonomi nasional: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan."
Namun, kita harus waspada agar koperasi tidak kembali terjerumus menjadi proyek birokrasi belaka. Sejarah mencatat, banyak koperasi yang hanya hidup di atas kertas — lahir dari instruksi pemerintah, bukan dari kebutuhan dan inisiatif
rakyat. Akibatnya, koperasi kerap menjadi alat politik, bukan alat pemberdayaan.
Membangun koperasi sejati butuh lebih dari sekadar regulasi. Dibutuhkan kesadaran kolektif, pendidikan ekonomi
rakyat, dan ekosistem yang memihak usaha bersama. Di sinilah letak tantangannya. Pemerintah boleh saja memfasilitasi, namun semangat gotong royong harus tumbuh dari bawah.
Prabowo Subianto tentu menyadari hal ini. Apalagi, sebagai putra Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo — ekonom besar yang juga menanamkan gagasan Ekonomi Pancasila — warisan pemikiran tentang ekonomi berkeadilan sudah mengalir dalam darahnya. Kini tinggal bagaimana komitmen itu diterjemahkan dalam kebijakan yang membumi dan berpihak.
Roh Bung Hatta menanti untuk dihidupkan kembali. Dan itu hanya mungkin jika koperasi diperlakukan sebagai
gerakan rakyat, bukan sekadar instruksi
kekuasaan. Maka, pertanyaan mendesaknya: apakah kita siap membangun koperasi dengan semangat sejati? Atau hanya akan mengulang lembaran lama yang penuh formalitas tanpa ruh?
Sejarah akan mencatat jawabannya.