Medan – Fenomena premanisme di Indonesia selama ini kerap dipandang sebagai masalah kriminalitas semata. Namun menurut Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), premanisme sebenarnya mencerminkan wajah
kekuasaan negara yang dijalankan secara ekstraktif, represif, dan informal.
"
Premanisme bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ia merupakan bagian integral dari infrastruktur
kekuasaan yang menopang sistem institusi
negara yang gagal dan ekstraktif," ungkap Shohibul saat diwawancarai di Medan.
Mengacu pada teori
negara ekstraktif dari Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku Why Nations Fail (2012), Shohibul menjelaskan bahwa
negara dengan institusi politik dan ekonomi yang bersifat ekstraktif cenderung memanfaatkan sumber daya demi keuntungan segelintir elite, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat.
"Dalam konteks ini, premanisme berfungsi sebagai kekuatan informal yang digunakan untuk menekan oposisi, mengendalikan wilayah, hingga menjaga stabilitas sosial yang semu. Preman tidak berdiri sendiri, mereka bagian dari jaringan
kekuasaan," tambahnya.
Shohibul juga merujuk pada pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977), yang menyatakan bahwa
kekuasaan modern tidak hanya diwujudkan lewat kekerasan fisik, melainkan juga melalui pengawasan dan mekanisme disiplin. Namun, dalam konteks
negara-
negara Global Selatan seperti Indonesia, ia menilai bahwa mekanisme formal
kekuasaan itu kerap tidak efektif karena lemahnya birokrasi dan penegakan hukum.
"Ketika
negara gagal menjalankan
kekuasaan melalui jalur formal, maka ia mengandalkan kekuatan informal seperti premanisme. Ini yang membuat premanisme menjadi semacam '
kekuasaan kedua' di luar hukum, tetapi sangat terkait dengan kepentingan politik," jelasnya.
Lebih jauh, Shohibul menyoroti bagaimana premanisme terkait dengan relasi patron-klien antara elite politik dan kekuatan informal. Preman sering mendapat perlindungan atau imbalan dari elite sebagai bagian dari sistem
kekuasaan yang mempertahankan ketimpangan struktural.
"Preman-preman ini bisa menjadi alat
kekuasaan yang digunakan untuk menyelesaikan konflik, menekan protes, atau mengendalikan kawasan yang tak terjangkau hukum. Ini bukan anomali, tapi bagian dari cara kerja
negara yang represif dan informal," ujarnya.
Shohibul juga mengutip teori Akhil Gupta dalam Blurred Boundaries (1995) untuk menjelaskan kaburnya batas antara
negara dan masyarakat akibat
kekuasaan informal dan korupsi. Preman, menurutnya, sering berperan sebagai aktor ganda: kriminal dan sekaligus perpanjangan tangan
negara.
Dalam konteks kekinian, Shohibul menyoroti kasus-kasus seperti perang melawan narkoba di Filipina, yang menurut laporan Human Rights Watch (2017), melibatkan preman sebagai pelaksana kekerasan atas nama
negara. Ia juga menyebut karya Carolyn Nordstrom Shadows of War (2004) yang membahas peran preman dalam ekonomi bayangan di tengah kekacauan sosial dan politik.
"
Premanisme juga menjadi bagian dari ekonomi kekerasan. Mereka mengatur aliran barang, uang, dan informasi di ruang abu-abu antara legal dan ilegal. Ini berdampak langsung pada kualitas demokrasi di
negara berkembang," kata Shohibul.
Ia menegaskan bahwa pemberantasan premanisme tidak bisa dilakukan hanya dengan pendekatan hukum. Menurutnya, diperlukan reformasi institusional yang memutus ketergantungan elite terhadap
kekuasaan informal.
"
Premanisme adalah cermin
kekuasaan yang tidak sah. Kalau kita ingin menata
negara yang adil dan demokratis, kita harus membongkar struktur
kekuasaan ekstraktif yang melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan ini," pungkasnya.